EKSISTENSI DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH,
SERTA KOEKSISTENSINYA DENGAN KONSEP MBS
SERTA KOEKSISTENSINYA DENGAN KONSEP MBS
Oleh: Suparlan *)
Alhamdulillah, pada tanggal 30 Desember 2016, Kemendikbud secara resmi telah menerbitkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Enam tahun sebelumnya, eksistensi Komite Sekolah ini sebenarnya telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Bahkan Peraturan Pemerintah ini pun telah diubah dengan PP Nomor 66 Tahun 2010, meskipun ketentuan tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak berubah, karena perubahan PP Nomor 66 tersebut karena penyesuaian tentang badan hukum pendidikan. Oleh karena itu PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan masih digunakan. Bahkan kelahiran Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tidak secara substansial menghapuskan PP Nomor 17 Tahun 2010, karena seperti melekat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena PP Nomor 17 Tahun 2010 tersebut penjabaran langsung dari Pasal 56 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahkan setahun sebelumnya, Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 pada tanggal 2 April 2002, keputusan Menteri Pendidikan Nasional telah melahirkan eksistensi tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (dengan nama Dewan Sekolah dan Komite Sekolah), berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000 – 2004 (Program Pembangunan Pendidikan Nasional 2000 – 2004).
Liku-liku Panjang Kelahiran Komite Sekolah
Betapa panjang proses birokrasi tersebut, dari tahun 2002 menuju ke tahun 2003, menuju ke tahun 2010, baru tahun 2016 eksistensi Komite Sekolah itu baru terbit menjadi Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Empat belas tahun menjadi usia Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Bahkan, liku-liku kelahiran Komite Sekolah tersebut dapat saja menjadi indikasi lambannya sistem birokrasi di negeri ini. Mohon maaf, kita semua termasuk di dalamnya.
Perlu dicatat bahwa penjabaran Pasal 56 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi menjadi Peratuan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tidak berlanjut menjadi Permendikbud tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, antara lain karena Pemerintah mempunyai pertimbangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 dinilai sudah cukup rinci untuk diimplemtasikan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah tidak menjabarkannya dalam Permendikbud. Hanya Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang berhasil diterbitkan karena diktum pertimbangan: (1) untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan; (2) dengan melakukan revitalisasi Komite Sekolah untuk melaksanakan fungsi dan tugas Komite Sekolah dengan prinsip gotong royong.
Indonesia adalah negara terbesar kelima di dunia. Bentuk negara kesatuannya juga melalui proses panjang untuk menjadi NKRI, karena kebhinekaan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Jika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah mencantumkan Pasal 56 untuk membentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka berdasarkan SK Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 menegaskan bahwa Aceh memiliki keistimewaan dalam bidang agama, adat istiadat, dan pendidikan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 420/435/1990 tanggal 31 Agustus 1990 terbentuklah Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, sebagai tonggak keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, jika di daerah provinsi, kabupaten/kota di Indonesia telah membentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi, maka di Provinsi dan Kabupaten/Kota di daerah Aceh telah dibentuk Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Fungsi dan tugas MPD pun sama dengan fungsi dan tugas Dewan Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah lain di Indonesia.
Perjalanan panjang eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Indonesia, termasuk Majelis Pendidikan Daerah, tersebut secara visual dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1: Bagan Liku Perjalanan Eksistensi Dewan Pendidikan, MPD (Majelis Pendidikan Daerah) dan Komite Sekolah
Berdasarkan bagan tersebut, bernafaslah lega untuk sementara, karena Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 telah melahirkan eksistensi Komite Sekolah yang mudah-mudahan dapat menyapu bersih perilaku pungutan liar (saber pungli) yang masih berlaku di negeri tercinta ini. Semua ini karena citra Komite Sekolah sebagai stempel sekolah yang melakukan pungutan sekolah. Karena alasan inilah maka masyarakat peduli pendidikan mendorong upaya revitalisasi pendidikan dengan dan ditanggapi positif oleh Mendikbud Muhadjir Effendie dengan menerbitkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Berdasarkan bagan tersebut, masih ada dua lembaga yang memerlukan proses revitalisasi sebagaimana Komite Sekolah, yakni Dewan Pendidikan secara keseluruhan, khususnya Dewan Pendidikan Nasional, yang keduanya termasuk amanat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai satu sistem, tentu saja semua komponen yang ada di dalamnya akan saling terkait dan terintegrasi secara sinergis (synchronization of energy).
Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah (MPD)[1],[2]
Perbedaan adalah keniscayaan. Inilah kebhinekaan tentang lembaga ad hock di Indonesia. Berbeda dengan Dewan Pendidikan yang lahir berdasakan Permendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000 – 2004 (Program Pembangunan Pendidikan Nasional 2000 – 2004). Sementara Majelis Pendidikan Daerah (MPD) terbentuk berdasarkan Qanun Nomor 3 Tahun 2006 tentang Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh, atas perintah Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 tentang Keistimewaan Aceh. Jika dirunut dari SK tentang Keistimewaan Aceh ini, maka eksistensi Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh justru jauh lebih dahulu dibandingkan dengan ekstistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Hal ini justru telah melengkapi kebhinekaan NKRI, termasuk kebhinakaan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tertanya memiliki Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Struktur Sekretariat MPD tersebut justru menganut pola birokrasi (PNS) yang fungsinya mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas MPD.
Untuk mendukung tugas pokok dan fungsi MPD Aceh tersebut, “pemerintah Aceh membentuk Sekretariat MPD yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Ketua Majelis, dan secara administratif bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.” Pembentukan Seretariat MPD didadarkan pada Ketetapan Permendagri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kelola Sekretariat Badan Keistimewaan Aceh, yang diimplementasikan dalam Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan.
Sekretariat MPD terdiri atas:
1. Kepala Sekretariat (eselon 2b);
2. Kepala Bagian Umum (eselon 3b);
3. Kepala Bagian Perencanaan (eselon 3b); yang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,
Kepala Bagian Perencanaan dibantu oleh 2 Kasubbag (eselon IVa):
Kepala Bagian Perencanaan dibantu oleh 2 Kasubbag (eselon IVa):
4. Ka Sub Bagian Penyusunan Program dan
5. Ka Sub Bagian Pendataan
6. Kepala Bagian Keuangan; yang dalam melaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Kepala Bagian Keuangan dibantu oleh 2 Kasubbag (eselon IVa):
7. Ka Sub Bagian Anggaran;
8. Ka SubBagian Verifikasi dan Perbendaharaan.
9. Kepala Bagian Perpustakaan, Dokumentasi dan Publikasi; yang dalam melaksanaakn tugas pokok dan fungsinya, Kepala Bagian Perpustakaan dibantu oleh 2 Kasubbag (eselon IVa):
10. Ka Subbag Perpustakaan
11. Ka Subbag Dokumentasi dan Publikasi.
Perbedaan
Jika Dewan Pendidikan (Provinsi, Kabupaten/Kota) di daerah lain mengetahui adanya perbedaan tersebut, maka hal tersebut harus difahami sebagai satu anugerah karena keistimewaan Aceh, yang juga harus difahami sebagai satu keniscayaan dengan harapan di masa mendatang kita dapat menyatukan perbedaan tersebut.
Landasan Saintifik Eksistensi Komite Sekolah
Meskipun antara Dewan Pendidikan dan Majelis Pendidikan Daerah berbeda dalam beberapa hal, termasuk kelengkapan organisasinya, karena MPD memiliki Sekretariat, yang berfungsi mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas MPD. Justru pemerintah mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas MPD Kab/Kota, dalam hal ini Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Eksistenti Komite Sekolah memiliki dasar saintifik yang kuat, sebagaimana disebutkan oleh CCEF (California Center for Effective School) bahwa keluarga memiliki hubungan sinergis dengan sekolah untuk kemajuan sekolah. Hubungan keluarga dan sekolah ini justru selaras dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Tujuh pilar sekolah efektif tersebut adalah pilar-pilar yang mendukung kemajuan sekolah. Satuan pendidikan Sekolah. Ibarat dua sisi mata uang, keluarga dan sekolah harus berkerja sama secara sinergis demi kemajuan sekolah.
Tabel 1: Tujuh Pilar Sekolah Efektif
No. Tujuh Pilar Sekolah Efetif
1 A clear and focused mission isi yang jelas dan terfokus
2 High expectations for success Harapan yang tinggi untuk berhasil
3 Instructional leadership Kepemimpinan instruksional
4 Frequent monitoring of student progress Monitoring kemajuan siswa secara rutin
5 Opportunity to learn and student time on task Kesempatan belajar dan melaksanakan
tugas-tugas bagi siswa
6 Safe and orderly environment Lingkungan yang aman dan teratur
7 Home/school relations Hubungan keluarga dan sekolah
Citra Komite Sekolah sebagai Stempel
Alhamdulillah, Mendikbud Muhadjir Effendie, memiliki semangat yang kuat dan keberanian luar biasa yang akhirnya melahirkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2006. Juga perlu dicatat sebagai sejarah bahwa Mendibud yang baru ini bersemangat keras untuk memberi nama Komite Sekolah ini menjadi Komite Gotong Royong Sekolah. Tetapi dengan bertimbangan yuridis, beberapa pihak seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh, tokoh masyarakat peduli pendidikan, telah mengingatkan kepada SAM (Staf Ahli Menteri) bahwa nama Komite Sekolah telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Inilah contoh seorang pemimpin yang sangat terbuka dan mendengarkan pendapat staf, termasuk Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam ha ini, Direktur Jenderal Pendidikan dasar meminta untuk mempertimbangkan tentang rencana penambahan Gotong Royong dalam mana Komite Sekolah ini. Berdasarkan monitoring ke Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, tidak satu pun Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah berpendapat nama Komite Sekolah telah terukir dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Yang penting adalah kinerjanya, pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Akhirnya, kita semua mengucapkan Alhamdulillah, karena nama Komite Sekolah tidak berubah, dan masih sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Permendikbud tersebut adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Gotong Royong dan Pancasila
Dalam melahirkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 ini, niat Mendikbud yang dikabulkan oleh Allah SWT, yakni pelaksanaan fungsi dan tugas Komite Sekolah tersebut dilaksanakan dengan prinsip gotong royong? Prinsip gotong royong dalam Pemerndibud Nomor 75 Tahun 2016. Marilah kita secara cermat diktum pertimbangan dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Diktum pertimbangan dalam Permendikbud tersebut adalah: (1) revitalisasi Komite Sekolah, (2) prinsip gotong royong. Barulah pasal-pasal tentag Komite Sekolah yang tidak menyimpang dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Pungutan, Bantuan, dan Sumbangan
Waktu terus berjalan. Komite Sekolah yang diharapkan adalah menjadi lembaga yang mandiri dan profesional, ternyata memperoleh sorotan sebagai lembaga stempel yang melakukan main mata untuk melakukan pungutan kepada orangtua peserta didik. Konon jenis dan macam pungutan ini sangat bervariasi, mulai jenis pungutan yang dinamakan sebagai iyuran warga sampai dengan menggunakan bahasa untuk menghaluskan (efemisme), bahkan dengan bahasa yang maknanya tidak terlalu jelas, seperti seperti dalam nama Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), tetapi sebenarnya memiliki makna yang jauh berbeda, dan bahkan termasuk kategori puntgutan yang sebenarnya. Itulah sebabnya Komite Sekolah diharapkan melaksanakan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan bukan dengan pungutan, tetapi lebih mengedepankan gerakan melalui sumbangan dan bantuan.
Itulah cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 yang telah dibangun oleh para pendiri NKRI, yang mempunyai cita-cita proklamasi, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pertama, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sungguh luar biasa tujuan negara tercinta itu. Negara Pancasila. Pancasila bukan antara ada dan tiada, tapi dasar dan falsafah negara. Oleh karena itu, melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah kita semua harus menggunakannya sebagai wahana untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Inti nilai-nilai tersebut adalah gotong royong. Dengan mengingat kondisi ini, kita harus melakukan satu gerakan bersama-sama untuk membangun gerakan Indonesia bersatu untuk mengamalkan nilai-nilai gotong royong. Pelaksanaan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menjadi wahana pengamalan nilai-nilai Pancasila. Pemerintah dan masyarakat merupakan dua energi yang harus disinergikan ibarat dua sisi mata uang. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus bersinergi dengan Pemerintah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan wadah peran serta masyarakat untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. Benar yang dijelaskan oleh John Dewey bahwa “Education is not a preparation of life, but it is life itself.” Pendidikan bukan persiapan kehidupan, tapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Konsepsi ini selaras dengan warisan Ki Hajar Dewantara bahwa “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Tentu saja setiap rumah itu sesungguhnya adalah masyarakat. Sekali lagi, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah didorong untuk menjadi wadah peran serta masyarakat, tetapi tetap dengan menumbuhkan nilai-nilai Pancasila.
Meskipun kita kecewa karena dalam 45 butir P4 tidak kita temukan nilai kejujuran, Alhamduillah, 18 butir nilai karakter yang telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Dikbud nilai kejujuran masih menjadi landasan dalam pendidikan karakter, termasuk menjadi nilai yang ditumbuhkan dalam pelaksanaan fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Delapan belas pilar nilai-nilai pendidikan karakter yang diatur oleh Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pendidikan dan Kebudayaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1: DELAPAN BESAR PILAR NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
No Pilar Diskripsi
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5 Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13 Bersahabat/Komunikatif Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
14 Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Ekistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah seharusnya menjadi wahana untuk menumbuhkan nilai-nilai Pancasila, khususnya melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Terkait dengan pilar-pilar pendidikan karakter tersebut, berlajar dari Angkatan Darat Amerika Serikat ini, lembaga militer ternyata juga sama-sama memiliki kewajiban untuk menumbuhkan 6 pilar karakter dalam melaksanakan tugas profesionalnya. The six pillars of characters tersebut adalah: (1) trustworthiness (kejujuran), (2) respect (sikap hormat), (3) responsibility (tanggung jawab), (4) fairness (keadilan), (5) caring (kepedulian), (6) citizesnship (kewarganegaraan). Enam pilar karakter tersebut sesungguhnya sama dan selaras dengan butir-butir nilai Pancasila yang harus diusung oleh Dewan Pendidikan dengan prinsip gotong royong.
Untuk mengembalikan citra Komite Sekolah yang kembali pada prinsip gotong royong inilah yang melahirkan gagasan untuk merevitalisasi Komite Sekolah yang bebas dari pungutan dengan melaksanakan fungsi dan tugas Komite Sekolah dengan mengedepankan bantuan dan sumbahan pendidikan. Bukan pungutan. Sesungguhnya yang dicari dalam kehidupan di dunia tanpa batas (the borderless world) ini bukanlah menjadi seorang superman, tetapi anak-anak bangsa di negeri ini dapat membangun superteam. Kelahiran kembali Komite Sekolah yang akan melaksanakan prinsip gotong royong ini insya Allah dapat menjadi wahana untuk membersihkan pungutan, tetapi justru dapat meningkatkan sumbangan dan bantuan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. Insyaallah.
Kesimpulan dan Harapan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapatlah ditarik butir-butir keseimpulan sebagai berikut:
Eksistensi Komite Sekolah sebenarnya selaras untuk melaksakan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dan manajemen berbasis masyarakat. Untuk ini, selaras pula dengan konsep yang dilaksanakan oleh CCES (California Center for Effective School). Salah satu pilarnya adalah hubungan sinergis antara orantua dan masyarakat.
Sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah insya Allah dapat menerapkan konsep demokratis, transparan, dan akuntabel dalam perencanaan, pelaksanaan manajemen Komite Sekolah, termasuk penerapan prinsip gotong royong.
Kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang menempuh perjalanan yang panjang tersebut dapat melalui proses revitalisasi sebagaimana kelahiran Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Proses kelahiran seperti itulah yang harus menjadi model birokrasi yang efektif dan efisien di Indonesia.
Prinisp gotong royong yang diadopsi oleh Mendikbud dalam pelaksanaan fungsi dan tugas Komite Sekolah selaras dengan pengamalan butir-butir nilai Pancasila di negara Pancasila. Hal tersebut sebenarnya bukan hanya selaras dengan P4 di Indonesia, yang diturunkan kepada 18 butir-butir nilai karakter menurut Pusat Kurikulum, dan bahkan sama dengan enam pilar karakter (six pillars of charaters) yang dilaksanakan oleh Angkatan Darat di Amerika Serikat.
Kelahiran dua nama Dewan Pendidikan dan Majelis Pendidikan Daerah di Indonesia harus dipandang sebagai hikmah yang membawa berkah. Pertama telah melahirkan Sekretariat MPD bagi provinsi Aceh, dan mudah-mudahan Dewan Pendidikan lain di Indonesia dapat mengapdosi pola atau sistem yang terbaik, dan membuang yang tidak baik untuk menuju upaya peningkatan layanan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Amin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com; Portal: masdik.com.
Depok, 16 Februari 2016.
[1] Majelis Pendidikan Daerah Aceh, Laporan Kegiatan Tahunan Majelis Pendidikan Daerah Aceh, 2014, hal. 8.
[2] Prof. Dr. H. Warul Walidin, AK, M.A. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, 2013, hal. 1.
Sumber :
No comments:
Post a Comment