MENDAMBAKAN KOMITE SEKOLAH YANG
PRO-KUALITAS
Hari pertama masuk sekolah akan
mengingatkan kita pada organisasi mitra sekolah yang namanya mulai pudar dan
jarang disebut yakni Komite Sekolah. Seorang teman menyatakan keberadaan Komite
Sekolah dengan ungkapan wujudu ka adamihi, ada seperti tidak adanya. Saya
tertawa lebar mendengarnya.
Ungkapan kawan saya itu ada
benarnya. Awal masuk sekolah orangtua siswa baru akan bertemu dengan pengurus
Komite Sekolah. Kesan pertama yang hadir di kepala adalah dana pendidikan.
Peran dan tugas Komite Sekolah – entah bagaimana awal mulanya – pada akhirnya
selalu dikaitkan dengan pengumpulan dana pendidikan.
Ada asap pasti ada api. Kesan
sebagai pengumpul dana tidak terbentuk dengan sendirinya. Komite Sekolah
berfungsi memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana, dan
prasarana serta pengawasan pendidikan pada satuan pendidikan. Terkait dengan
fungsi dukungan sarana dan prasarana dan hal itu tidak terlepas dari pendanaan,
Komite Sekolah menjadi identik dengan organisasi pengumpul dana.
Cukup disayangkan memang,
mengingat fungsi utama Komite Sekolah adalah partner strategis dan sejajar
dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan. Fungsi strategis yang belum
dipahami sepenuhnya oleh wali siswa. Pertemuan orangtua siswa di hari pertama
yang dihadiri Komite Sekolah menimbulkan kesan bahwa sekolah sedang membutuhkan
dana. Komite Sekolah menjadi jembatan bagi pihak sekolah yang merasa pakewuh
berurusan dengan uang.
Tidak heran bila sejumlah pihak
mengingatkan agar Komite Sekolah tidak sekadar menjadi “stempel” bagi sekolah,
khususnya untuk memungut dana pendidikan dari orangtua siswa.
Sejak konsep manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah diluncurkan, Komite Sekolah memegang peranan
penting sebagai pintu masuk bagi publik dan orangtua. Mewadahi dan menyalurkan
aspirasi pendidikan dari masyarakat sehingga lahir kebijakan operasional dan
program pada tingkat satuan pendidikan merupakan fungsi Komite Sekolah yang
perlu dioptimalkan.
Diharapkan Komite Sekolah bukan
hanya pro-pendanaan tetapi lebih dari itu: pro-kualitas pendidikan. Bukan hanya
memperhatikan pemenuhan sarana prasarana tetapi memiliki kepedulian terhadap
kualitas guru. Bukan hanya terlibat dalam skala pembangunan fisik tetapi
sekaligus menyokong sekolah dengan ide-ide kreatif inovatif bagaimana proses
pendidikan dijalankan. Bukan hanya rajin menggalang dana tetapi rajin juga
berdialog, melakukan edukasi terhadap publik khususnya orangtua siswa, untuk
menyelaraskan visi dan misi pendidikan.
Dengan demikian Komite Sekolah
merupakan representasi dari keterlibatan masyarakat dan orangtua dalam mengawal
kualitas pendidikan yang bermartabat. Ruang lingkup yang cukup luas. Namun,
sebagai organisasi mitra sekolah, Komite Sekolah diharapkan bisa melakukan
penilaian terhadap kinerja sekolah (school accountability). Semacam penyeimbang
bagi penilaian kinerja sekolah yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.
Bukankah publik, yang terwakili oleh Komite Sekolah, juga berhak menilai
kinerja sekolah?
Fungsi peningkatan mutu layanan
pendidikan yang diemban Komite Sekolah pun diimplementasikan secara nyata,
bukan tertulis sebagai dokumen semata.
Merujuk pada penilaian yang
dikemukakan Ken Jones (2003), kinerja sekolah diukur meliputi: aspek
pembelajaran siswa (student learning); kesempatan yang diberikan kepada siswa
untuk mendapat layanan pendidikan yang berkualitas (opportunity to learn); kepekaan
manajemen sekolah terhadap kebutuhan individual siswa, orangtua, dan masyarakat
yang tumbuh secara dinamis; kapasitas sekolah untuk selalu tumbuh dan
berkembang lebih baik.
Dengan penilaian kinerja yang
dilakukan oleh Komite, sekolah sebagai organisasi layanan publik, tidak
didominiasi dan dikuasai (secara politik pendidikan) oleh pemerintah. Diskursus
perubahan kurikulum misalnya, tidak diselesaikan pada tingkat dan pola hubungan
birokratif antara sekolah dengan dinas pendidikan. Publik pun dilibatkan dengan
membuka akses melalui Komite Sekolah.
Selain itu, hubungan yang
strategis dan sejajar antara Komite Sekolah dan Pemerintah Daerah akan membuka
saluran komunikasi dan keterlibatan publik. Kebijakan pendidikan selaras dengan
kebutuhan dan kepentingan publik. Masyarakat pun tidak menjadi objek
pendidikan.
Makin jelas bagi kita, Komite
tidak harus selalu dan hanya berurusan dengan sarana prasarana sekolah. Bukan
sebatas berfungsi pada pengadaan sarana fisik semata. Bukan pula sebatas “tangan panjang” kepentingan sekolah, yang
belum tentu merupakan kepentingan substansi pendidikan.
Sayangnya, Komite Sekolah “lebih
akrab” dengan sekolah daripada dengan publik. Dalam kadar dan kasus tertentu,
kadang Komite menjadi corong untuk menyuarakan kepentingan sekolah, yang dapat
dipastikan juga menyuarakan suara kepentingan (politik pendidikan) pemerintah.
Publik dan orangtua siswa pada akhirnya belum beranjak posisinya sebagai objek
pendidikan.
Dalam sebuah forum yang dihadiri
Komite Sekolah, orangtua siswa menyampaikan usulan sekaligus bertanya, “Mengapa
setiap forum yang dihadiri Komite selalu membicarakan soal anggaran keuangan
dan kebutuhan dana pendidikan? Mengapa tidak sesekali berdiskusi misalnya
tentang program pembelajaran, prestasi siswa, kualitas guru? Apakah Komite
hanya peduli pada sarana prasarana sekolah yang pada akhirnya akan bermuara
pada kebutuhan pendanaan?”
Mendambakan Komite Sekolah yang
pro-kualitas sesungguhnya mendambakan sekolah tanpa kegagalan. Bagaimana itu?
Setiap siswa teridentifikasi potensi, bakat, dan minatnya, dipetakan
kecerdasannya, terdeteksi kelemahannya. Sekolah yang mendidik manusia agar
mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai manusia.
Sekolah tanpa kegagalan bukan
terutama dibangun oleh sarana prasarana melainkan ditentukan oleh bagaimana
mindsethumanisme pendidikan dikembangkan. Munculnya gugatan publik atas biaya
pendidikan yang mahal atau menjamurnya sekolah dengan biaya mahal merupakan
akibat dari lemahnya keterlibatan publik dalam melakukan kontrol kinerja sekolah.
Untuk itulah dibutuhkan peran dan
fungsi Komite Sekolah yang membela humanisme pendidikan dan aspirasi publik.
Mendambakan Komite Sekolah yang pro-kualitas tidak berlebihan kan?
No comments:
Post a Comment